Desa Takpala adalah sebuah kampung
tradisional di atas sebuah bukit namun sekaligus tidak begitu jauh dari
pesisir pantai. Lokasinya berada di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor
Tengah Utara, Kabupaten Alor. Sebagai kampung tradisional, Takpala
memiliki belasan rumah adat berbentuk limas beratap ilalang yang tertata
cukup baik. Kampung adat ini kiranya patut masuk dalam daftar agenda
kunjungan Anda selama berada di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.
Desa Takpala mencuat dalam daftar
kunjungan wisatawan asal Eropa setelah seorang turis warga Belanda
bernama Ferry memamerkan foto-foto warga kampung ini tahun 1973. Ia
mengambil foto warga Kampung Takpala untuk kalender dan mempromosikan
bahwa di Pulau Alor ada kampung primitif. Sejak saat itu Desa Takpala
dikenal orang-orang Eropa dan turis pun berdatangan ke kampung ini.
Selain itu, tahun 1980 Kampung Takpala juga sempat menjadi juara 2
tingkat Nasional untuk kategori desa paling tradisional. Sejak 1983
Kampung Takpala ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata di Pulau
Alor oleh Dinas Pariwisata Alor.
Kata takpala sendiri berasal kata tak (artinya ada batasnya) dan kata pala (artinya kayu). Berikutnya takpala diartikan sebagai kayu pembatas. Ada juga yang memberi definisi takpala sebagai kayu pemukul.
Suku Abui sendiri yang menghuni kampung
ini adalah suku terbesar yang mendiami Pulau Alor. Mereka kadang biasa
disebut juga Tak Abui (artinya gunung besar). Meski warga
penduduk yang mendiami kampung ini hanya puluhan tetapi sebenarnya
keturunan penduduk kampung ini telah tersebar dan telah mencapai ribuan
orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat ramah
terhadap pendatang.
Keseharian suku Abui di Desa Takpala ini
adalah memanfaatkan hasil alam terutama hutan dengan berladang atau
berburu. Otomatis saat siang hari kampung ini terlihat sepi karena
sebagian dari mereka akan pergi mencari makanan ke hutan sekaligus
berburu. Hasilnya selain dikonsumsi sehari-hari juga dijual di pasar.
Makanan aslinya suku Abui umumnya adalah singkong dan jagung. Nasi
kadang mereka konsumsi tetapi tetap dipadupadankan dengan singkong dan
jagung (disebut katemak).
Kampung Takpala awalnya mendiami
pedalaman Gunung Alor tetapi kemudian dipindahkan ke bagian bawah.
Alasan pemindahan ini dahulu terkait kewajiban membayar pajak kepada
Raja Alor (balsem). Utusan Raja Alor yang hendak memungut pajak
kesulitan menjangkau kampung tersebut sehingga akhirnya dipindahkan ke
bagian bawah. Adalah Bapak (alm) Piter kafilkae yang menghibahkan
tanahnya untuk dijadikan lokasi Kampung Takpala seperti sekarang ini
sejak tahun 1940an.
Rumah adat suku Abui di Kampung Takpala begitu sederhana namun memikat. Rumah adat ini dinamakan lopo. Bangunannya berbahan kayu berbentuk limas dan beratap ilalang terbuka seperti gazebo
dengan dinding setinggi 90 cm dari bambu. Rumah adat ini disangga 6
tiang dari kayu merah dan mampu bertahan cukup lama. Ada dua jenis rumah
lopo, yaitu kolwat dan kanuruat. Rumah kolwat terbuka untuk umum, siapapun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan sedangkan kanuruat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu.
Selain lopo ada juga fala foka
yaitu rumah adat bertingkat 4 yang dihuni hingga 13 kepala keluarga.
Rumah adat bertingkat ini lantai 1 digunakan untuk berkumpul dan
menerima tamu, lantai 2 untuk ruang tidur dan masak, lantai 3 tempat
menyimpan bahan pangan seperti jagung dan hasil bumi lainnya, dan lantai
4 untuk menyimpan barang-barang adat seperti moko,
gong, senjata, dan lainnya. Warga Takpala mengklaim bahwa merekalah
yang pertama kali membuat rumah tradisional bertingkat 4 di dunia.
Articles : http://indonesia.travel/id/destination/810/desa-takpala
Photo: Leonardus Nyoman
No comments:
Post a Comment